08.00 WIB - 15.00 WIB
Jl. Ampera Raya No. 7 Jakarta
Logo ANRI

Upaya Menelisik Arsip Gender melalui Diskusi Panel "Kartini dan Perjuangan Gender di Indonesia"

Upaya Menelisik Arsip Gender melalui Diskusi Panel "Kartini dan Perjuangan Gender di Indonesia" Upaya Menelisik Arsip Gender melalui Diskusi Panel "Kartini dan Perjuangan Gender di Indonesia" Upaya Menelisik Arsip Gender melalui Diskusi Panel "Kartini dan Perjuangan Gender di Indonesia" Upaya Menelisik Arsip Gender melalui Diskusi Panel "Kartini dan Perjuangan Gender di Indonesia" Upaya Menelisik Arsip Gender melalui Diskusi Panel "Kartini dan Perjuangan Gender di Indonesia" Upaya Menelisik Arsip Gender melalui Diskusi Panel "Kartini dan Perjuangan Gender di Indonesia"

17

Jan 23

Upaya Menelisik Arsip Gender melalui Diskusi Panel "Kartini dan Perjuangan Gender di Indonesia"

Jakarta - 17/01/23, Jakarta – 17/01/2023, Melanjutkan rangkaian acara pada “Seminar Nasional Dharma Samudera Pejuang Wanita, Negara Poros Maritim Dunia” yang bertempat di Ruang Serba Guna Noerhadi Magetsari, gedung C lantai 2, Arsip Nasional Republik Indonesia bekerja sama dengan PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo) mengadakan diskusi panel sesi kedua yang bertema "Kartini dan Perjuangan Gender di Indonesia". Kegiatan ini dipandu oleh Asep Kambali dan menghadirkan narasumber Prof. Erwiza Erman dan Nadia F. Dwiandari dengan pembahas Prof. Endang Susilowati dan Marcella Zalianty.

Prof. Erwiza dalam materinya menceritakan bahwa Kartini sebagai anak ke-5 dari 11 saudara, berasal dari keluarga priyayi dengan budaya feudal Jawa yang sangat ketat. Dengan kelebihan yang dimiliki, Kartini bisa menikmati pendidikan di ELS. Namun sayangnya mimpi untuk pergi ke Belanda tidak terwujud meskipun sudah diperjuangkan oleh temannya, Estella Zeehandelaar.

Munculnya kontradiksi antara budaya feudal dengan budaya modern yang terjadi pada masa itu, membuat hati Kartini bergejolak. Saat itu, konteks politik etis tentang strategi kebijakan pembangunan khususnya di bidang kesetaraan gender sedang berkembang. Hal ini juga diperkuat dengan perbedaan yang sangat besar antara kehidupan penjajah dan masyarakat yang dijajah. Kartini merasa bahwa lingkungan internal dan eksternal sangat jauh berbeda. Ia pun pada akhirnya memilih untuk berjuang dengan tinta, dengan kata-kata. Prof. Erwiza mengutarakan, “Kingdom of the words atau kata-kata adalah kekuatan. Kegelisahan Kartini pun diutarakan ke dalam surat-suratnya dengan menuangkan ide-ide tentang kemajuan, pendidikan, kemandirian, dan ketidakadilan khususnya kepada wanita.”

Surat-surat tersebut oleh JH Abendanon dikumpulkan untuk diterbitkan ke dalam sebuah buku pada tahun 1911 yang kini sangat dikenal yakni Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis tot Licht). Di samping itu, Kartini juga berupaya menyebarkan jaringan korespondensi melalui majalah De Hollandsche Leile.

Sementara itu, Nadia Fauziah Dwiandari mengetengahkan tentang cara kerja ANRI dalam mengindentifikasi arsip gender. Mekanisme kerja yang dilakukan berawal dari persiapan yakni memahami konsep dasar konsep gender, kemudian menyusun panduan penelusuran hingga mengeksplorasi arsip dan metadata. Tahap ini menghasilkan nama-nama organisasi, tokoh, subjek hingga peristiwa yang melingkupi upaya kesetaraan gender. Beberapa nama tokoh yang muncul selain Kartini sendiri ialah Dewi Sartika, Maria Ulfah, dan SK Trimurti. Selanjutnya, pemanfaatan arsip menjadi publikasi kearsipan yang digunakan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat dan dinominasikan ke dalam Memory of The World (MOW). “Joint nomination untuk MOW untuk arsip gender sendiri ANRI bekerja dengan Universitas Leiden/KITLV. Ke depan kita juga akan bekerja sama dengan arsip Belanda,” tambahnya.

Marcella Zalianty sebagai pembahas menerangkan bahwa sosok pahlawan perempuan setelah ditetapkan sebagai pahlawan nasional, maka perjuangannya tidak berhenti di situ saja. Kita sebagai penerus bangsa wajib mendedikasikan kerja keras untuk meneruskan perjuangan mereka. Ia juga mengetengahkan sosok perempuan pahlawan selain Kartini, yakni Keumalahayati yang berasal dari Aceh. Pada masanya Keumalahayati dan perempuan Aceh lainnya berada pada posisi ketika para suami meninggal maka mereka tidak berdaya secara ekonomi. Maka perasaan emansipasi pun bergolak ketika penjajahan Belanda muncul.

Pembahas selanjutnya yakni Prof. Endang Susilowati menambahkan alasan Kartini begitu dikenal luas karena adanya glorifikasi terhadap Kartini. Bahwa Kartini memperjuangkan hal-hal kaum perempuan, kaum tertindas, dan menghapus tradisi pingitan dalam masyarakat. Namun dalam sudut pandang Kartini, perempuan yang modern bukan yang harus mampu bersaing dengan laki-laki melainkan perempuan yang bisa menjadi mitra sejajar dengan laki-laki, perempuan yang dihormati dan diterima eksistensinya.

( TR )


Penulis : TR
Editor : tk

Bagikan

Views: 835