Pameran Virtual Jawa Tengah
Keraton Surakarta telah di bangun di Solo (p.d. Desa Sala) sejak jaman pemerintahan Sri Susuhan Pakubuwono II pada tahun 1744. Keraton Surakarta dibangun dengan maksud sebagai pengganti Keraton Kartasura yang rusak akibat peristiwa Geger Pacinan yang terjadi di tahun 1743.
Pada tahun 1755, disepakatilah sebuah Perjanjian Giyanti berisi tentang memecah Kerajaan Mataram menjadi dua kerajaan besar. Dengan adanya perjanjian tersebut, keraton di Desa Solo menjadi istana resmi bagi Kasunan Surakarta Hadiningrat atau yang lebih dikenal dengan Keraton Surakarta. Untuk kerajaan pecahan yang satunya menjadi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang menempati di pusat pemerintahan Yogyakarta.
Keraton Surakarta yang menjadi ikon Kota Solo ini memiliki salah satu bangunan bertingkat yang cukup menarik. Menara Sanggabuwana sebuah bangunan bertingkat yang konon menjadi tempat bertemunya Ratu Laut Selatan dengan Raja. Menara tersebut didirikan pada tahun 1782 di wilayah Keraton Surakarta oleh Sri Susuhan Pakubuwono III.
Perjanjian Giyanti antara Sultan Hamengku Buwono I dengan Nicolas Hartingh mengenai pembagian daerah Kerajaan Mataram. 13 Februari 1755.
Sumber: ANRI, Djocja No. 42/1
Pintu Gerbang Keraton Surakarta, Jawa Tengah. 1930.
Sumber: ANRI, KIT Jawa Tengah No. 0774/013
Sumber: ANRI,KIT Jawa Tengah No. 0774/013
Sumber: ANRI, KIT Jawa Tengah No. 415/40
Sumber: ANRI, KIT Jawa Tengah No. 863/27
Sumber: ANRI, KIT Jawa Tengah No. 777/11
Sumber: ANRI, KIT Jawa Tengah No. 1097/16
Sumber: ANRI, KIT Jawa Tengah No. 0173/020
Sumber: ANRI, KIT Jawa Tengah No. 0865/090
Sumber: ANRI, KIT Jawa Tengah No. 775/66
Sumber: ANRI, KIT Jawa Tengah No. 1110/13
Sumber: ANRI, KIT Jawa Tengah No. 247/68
Sumber: ANRI, KIT Jawa Tengah No. 0415/032
Sumber: ANRI, Sekretariat Negara RI No. 860
Pemerintahan Raja Syailendra yang beragama Buddha ini dilanjutkan oleh keturunannya, Wangsa Syailendra. Dengan demikian, selama kurang lebih satu abad, yaitu tahun 750-850 M, Jawa Tengah dikuasai oleh dua pemerintahan, yaitu pemerintahan Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu dan Wangsa Syailendra yang menganut agama Buddha Mahayana. Pada masa inilah sebagian besar candi di Jawa Tengah dibangun. Oleh karena itu, candi-candi di Jawa Tengah bagian Utara pada umumnya adalah candi-candi Hindu, sedangkan di wilayah selatan adalah candi-candi Buddha.
Candi di Jawa Tengah umumnya menghadap ke Timur, dibangun menggunakan batu andesit. Bangunan candi umumnya bertubuh tambun dan terletak di tengah pelataran. Di antara kaki dan tubuh candi terdapat selasar yang cukup lebar, yang berfungsi sebagai tempat melakukan ‘pradaksina’ . Di atas ambang pintu ruangan dan relung terdapat hiasan kepala Kala (Kalamakara) tanpa rahang bawah. Bentuk atap candi di Jawa tengah umumnya melebar dengan puncak berbentuk ratna atau stupa.
Di samping letak dan bentuk bangunannya, candi Jawa tengah mempunyai ciri khas dalam hal reliefnya, yaitu pahatannya dalam, objek dalam relief digambarkan secara naturalis dengan tokoh yang mengadap ke depan. Batas antara satu adegan dengan adegan lain tidak tampak nyata dan terdapat bidang yang dibiarkan kosong. Pohon Kalpataru yang dianggap sebagai pohon suci yang tumbuh ke luar dari objek berbentuk bulat banyak didapati di candi-candi Jawa tengah.
Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. [1930]
Sumber: ANRI, KIT Jawa Tengah No. 0792/036
Sumber: ANRI, KIT Jawa Tengah No. 1174/076
Sumber: ANRI, KIT Jawa Tengah No. 1195/076
Sumber: ANRI, KIT Jawa Tengah No. 0792/041
Sumber: ANRI, Kempen Jawa Tengah No. 63-3992
Sumber: ANRI, KIT Jawa Tengah No. 1192/057
Sumber: ANRI, Kempen Jawa Tengah No. 29
Wayang merupakan kesenian tradisi yang kental dengan nuansa magis. Lahir dan berkembang di tanah Jawa, wayang dahulu digunakan sebagai media yang menghubungkan manusia dengan roh spiritual para dewa. Wayang sebagai sebuah kesenian kemudian mengalami perkembangan yang sangat signifikan, baik dilihat dari keragaman jenisnya maupun dari sisi ide cerita yang dipentaskan. Kalau dahulu wayang dijadikan sebagai media untuk ruwatan yang memerlukan banyak sesajian, kini wayang bisa menjadi sebuah pementasan yang bersifat profan.
Salah satu jenis wayang yang selalu ditunggu-tunggu pementasannya adalah wayang orang. Wayang orang atau lebih dikenal dengan nama wayang wong merupakan jenis wayang yang berembrio langsung dari wayang kulit yang sudah ada jauh sebelumnya. Wayang jenis ini tidak menggunakan boneka peraga, melainkan menggunakan orang yang berperan langsung sebagai tokoh pewayangan.
Jenis wayang lainnya adalah wayang kulit. Wayang kulit adalah sebuah seni pertunjukkan Indonesia yang dimainkan dengan boneka wayang yg terbuat dari kulit. Pagelaran ini biasanya dimainkan pada malam hari. Pada bagian belakang layar atau kelir terdapat lampu yang memperlihatkan siluet dari wayang. Para penonton akan duduk di depan kelir dan hanya dapat melihat bayangan wayang yang digerakkan oleh seorang dalang.
Pada tanggal 7 November 2003, UNESCO menetapkan wayang kulit sebagai warisan mahakarya yang tak ternilai dalam seni bertutur atau Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity yang berasal dari Indonesia.
Pertunjukan wayang orang, Jawa Tengah. 1918
Sumber: ANRI, KIT Jawa Tengah No. 0923/021
Sumber: ANRI, KIT Jawa Tengah No. 0919/049
Sumber: ANRI, KIT Jawa Tengah No. 0146/036
Sumber: ANRI
Jawa Tengah sebagai kawasan yang kaya akan kesenian dan kebudayaan. Salah satu kesenian daerah yang patut dilestarikan adalah tarian tradisional Jawa Tengah. Tarian tradisional Jawa Tengah ini ada sejak abad ke-7. Sejak “Mahabharata” dan “Ramayana” diciptakan, sosok ini menjadi dasar dalam tarian, puisi, dan seni selama berabad-abad dalam budaya Jawa Tengah.
Tarian tradisional Jawa Tengah terpengaruh dari ritual keagamaan, penguasa adat, dan kedatangan penjajah Belanda. Di Jawa Tengah, berbagai jenis tarian tradisional dipertunjukkan dalam upacara adat maupun acara-acara spesial.
Pagelaran tari Bedoyo Mankoenegaran pada hari pernikahan Partini dan Husein Djajadiningrat di Solo, Jawa Tengah. 1921.
Sumber: ANRI, KIT Jawa Tengah No. 0224/072
Sumber: ANRI, KIT Jawa Tengah No. 403/70
Sumber: ANRI, KIT Jawa Tengah No. 404/70
Sumber: ANRI, KIT Jawa Tengah No. 404/76
Sumber: Kempen Jawa Tengah No. 540820 GD 4-5
Kata batik diduga berasal dari kata ‘ambatik’ yang diterjemahkan berarti ‘kain dengan titik-titik kecil’. Akhiran ‘tik’ pada kata batik berarti titik kecil yang dikenakan pada kain sehingga membentuk pola tertentu. Batik mungkin juga berasal dari kata Jawa ‘tritik’ yang menggambarkan proses menahan untuk memakemkan desain di mana pola yang dipesan pada tekstil dengan mengikat dan menjahit daerah sebelum pakem, mirip dengan teknik pewarnaan ikat. Fase Jawa lainnya untuk pengalaman mistis membatik adalah “mbatik manah ” yang artinya“ menggambar desain batik di hati ”
Beberapa ahli berpendapat bahwa batik pada awalnya dipesan sebagai bentuk seni untuk bangsawan Jawa yang menjadi salah satu adat istiadat di Indonesia. Tentu saja sifat kerajaan itu jelas karena pola-pola tertentu disediakan hanya untuk dipakai oleh bangsawan dari istana Sultan. Putri dan wanita bangsawan mungkin telah memberikan inspirasi untuk desain yang sangat halus yang terlihat dalam pola tradisional. Sangat tidak mungkin bahwa mereka akan terlibat lebih dari aplikasi lilin pertama. Kemungkinan besar, pekerjaan pewarnaan yang berantakan dan waxing berikutnya diserahkan kepada pengrajin pengadilan yang akan bekerja di bawah pengawasan mereka.
Pada Oktober 2009, UNESCO menetapkan batik sebagai warisan mahakarya yang tak ternilai dalam seni bertutur atau Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity yang berasal dari Indonesia.
Wanita Jawa dalam pakaian Keraton, di Jawa Tengah. 1920
Sumber: ANRI, KIT Jawa Tengah No. 0086/022
Para pengrajin batik sedang membatik, Jawa Tengah. [1930]
Sumber: ANRI, KIT Jawa Tengah No. 0146/028
Sumber: ANRI, KIT Jawa Tengah No. 0036/075
Sumber: ANRI, KIT Jawa Tengah No. 691/14
Sumber: ANRI, KIT Jawa Tengah No. 714/36
Sumber: ANRI