08.00 WIB - 15.00 WIB
Jl. Ampera Raya No. 7 Jakarta
Logo ANRI

Budayawan Taufik Rahzen: Pancasila dalam Ingatan Kolektif Bangsa

Budayawan Taufik Rahzen: Pancasila dalam Ingatan Kolektif Bangsa

01

Jun 22

Budayawan Taufik Rahzen: Pancasila dalam Ingatan Kolektif Bangsa

Jakarta (1/6/2022) - Interaksi manusia dengan alam dan para spesies penghuni kawasan Nusantara, telah melahirkan cara pandang budaya dan corak penghayatan spiritual khas yang disebut sebagai Bumintara. Bentuk penghayatan ini merata dan memiliki kaidah umum yang selalu muncul dari masa ke masa, dan terekam sebagai ingatan kolektif bangsa. Ia tampil dalam bentuk mitos, ujaran bahasa, motif seni, interaksi ekonomi dan tatanan sosial.

"Betapa pun Pancasila dirumuskan dalam cahaya perdebatan ideologi modern abad XX, namun kita dapat menyusuri jejaknya pada masa jauh sebelumnya. Dengan menyingkap beberapa prasasti dan arkeologi-kesadaran yang tersebar, kita dapat memetakan lima kaidah umum", terang Budayawan Taufik Rahzen dalam paparannya pada acara talkshow Pancasila dalam Khazanah Arsip yang diselenggarakan secara daring oleh Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dalam rangka memperingati Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2022.

Pada kesempatan ini, Taufik Rahzen mencoba menggali nilai-nilai Pancasila dengan melihat bukti-bukti prasasti dan arkeologi-kesadaran yang tersebar di Nusantara dengan melihat lima kaidah umum yang ada di dalam Pancasila.

Kaidah pertama, peleburan antara diri, alam dan Yang-tak-terungkap. Semuanya terhubung dalam jaringan kehidupan yang disimbolkan dalam Pohon Hayat. Upaya memanjatkan doa dan kepasrahan pada kuasa bumi, menjadi ciri utama pengalaman spritual bersama. Beragam mitos dan narasi asal usul, senantiasa mengisahkan keragaman dan kesatuan, kekacauan dan keterpaduan: saling terhubung seluruh jaringan kehidupan.  Kalpawreksa, Kalpataru, Batang Garing, Gunungan,  Perahu Roh hingga pandangan sedulur papar lima pancer.

Kaidah kedua, rasa dan bukan rasio sebagai pendekatan utama untuk memahami realitas. Rasa melahirkan tepa selira dan tenggang rasa atas kehadiran yang lain. Karenanya budi-daya lingkungan dicapai melalui pengolahan daya-budi manusia yang terus menerus. Kemanusiaan yang diselenggarakan sacara adil dan beradab;  merupakan hasil dialektika antara budi-daya dan daya-budi dalam ruang waktu.

Kaidah ketiga, daya bertahan hidup dicapai melalui kemampuan adaptasi dan kecerdasan dalam kerjasama. Mereka yang bertahan bukanlah yang paling kuat, namun yang mampu berinteraksi. Gotong royong menjadi cara sekaligus tujuan keberadaan; baik untuk melewati beragam bencana dan wabah maupun dalam menciptakan tatanan baru. Ikatan kebersamaan dicapai melalui "kerja" dengan mengolah alam dan "bakti" dengan memperkukuh solidaritas bersama.

Kaidah keempat, Upacara merupakan wahana utama untuk menyelesaikan krisis. Melalui ritus sosial kenyataan diciptakan kembali, disegarkan dalam pertumbuhan bersama. Ritus lebih utama dari doktrin, karena upacara melampaui perbedaan dan sengketa. Setiap individu menyerahkan diri dalam komunitas, dan setiap komunitas melebur dalam upacara.

Kaidah Kelima, Kebenaran selalu hadir secara simbolik dalam bahasa lisan dan ragam visual. Karena kelisanan lebih utama dari tulisan (teks) dalam mengungkapkan yang sakral. Berbeda dengan komunitas tekstual, para penghuni Bumintara mempunyai hirarki bahasa yang kompleks, untuk berbagai tingkat komunikasi. Kebenaran diperoleh melalui percakapan dan belarasa, bukan melalui doktrin tunggal. Kon-teks lebih utama dari teks. Dengan demikian simbol perantara yang melampaui bahasa dibutuhkan untuk menyatukan pemahaman bersama.

Lima kaidah utama ingatan kolektif bangsa di atas, telah menjadi asas dan alas-wahana (platform) untuk hidup bersama. "Tak lah mengherankan, jika lima kaidah utama ini telah tersirat dan tersurat dalam rumusan Pancasila. Penegasan berulang-ulang Bung Karno bahwa Pancasila sesungguhnya digali dari kesadaran kolektif dan jiwa bangsa, kini memperoleh alasannya," terang Taufik Rahzen dalam paparannya. (is)









( is )


Penulis : is
Editor : tk

Bagikan

Views: 1890